Dalam riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah Saw. bersabda: “Ada lima macam yang termasuk fitrah, yaitu
khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, menggunting
kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang
komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk
hal-hal yang sepele yang menjadi naluri kebiasaan manusia.
Dalam konteks khitan, ulama sepakat bahwa laki-laki dianjurkan untuk
berkhitan, karena secara logika bisa dipahami, khitan merupakan bagian
dari kebersihan (thaharah). Tetapi tidak demikian bagi perempuan, banyak
kalangan terutama tenaga medis yang melarang khitan bagi perempuan.
Sementara itu sebagian kalangan berpendapat bahwa khitan bagi perempuan
harus dilakukan. Oleh karenanya, masalah khitan bagi perempuan perlu
mendapatkan kejelasan secara tuntas dan menyeluruh.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan, ada yang
mengatakan sunnah, dan ada yang mengatakan mubah. Sedangkan menurut
al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki
sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi.
Pendapat yang melarang khitan perempuan sebetulnya tidak memiliki
dalil syar’i, kecuali hanya sekedar melihat bahwa khitan perempuan
adalah menyakitkan korban (perempuan). Sementara hadits yang menjelaskan
khitan perempuan (hadits Abu Dawud) tidak menunjukkan taklif disamping
juga keshahihannya diragukan. Padahal ada kaidah ushul yang menyatakan
bahwa ‘adam al-dalil lais bi dalil (tidak adanya dalil bukan
merupakansuatu dalil).
Adapun pendapat yang mengatakan sunnah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ r
قَالَ الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ (رَوَاهُ
أَحْمَدُ)
“Dari Abu al-Malih bin Usamah, dari Ayahnya: “Sungguh Nabi Saw.
bersabda: “Khitan itu hukumnya sunnah bagi para lelaki dan kemuliaan
bagi para perempuan.” (HR. Ahmad)
Kata sunnah yang dikehendaki disini bukan berarti lawan kata wajib.
Sebab kata sunnah apabila dipakai dalam sebuah hadits, maka tidak
dimaksud sebagai lawan kata wajib. Namun lebih menunjukkan persoalan
membedakan antara hukum laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, arti
kata sunnah dan kata makrumah dalam hadits tersebut maksudnya adalah
laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Sehingga bisa
jadi artinya adalah laki-laki sunnah berkhitan dan perempuan mubah. Atau
wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Atau laki-laki
dianjurkan mengumumkan khitannya, baik dalam walimah al-khitan atau
undangan, sedangkan perempuan justru yang baik dirahasiakan, tidak perlu
diekspose atau disebarluaskan.
Sebagaimana disampaiakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari
اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ
وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَقَصُّ
الشَّارِبِ )رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ)
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ خِتَانُهَا قَطْعُ جِلْدَةٍ تَكُونُ فِي أَعْلَى
فَرْجِهَا فَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ كَالنَّوَاةِ أَوْ كَعُرُفِ الدِّيكِ
وَالْوَاجِبُ قَطْعُ الْجِلْدَةِ الْمُسْتَعْلِيَّةِ مِنْهُ دُونَ
اسْتِئْصَالِهِ وَقَدْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ
عَطِيَّةَ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا
النَبِيُّ r (لَا تَنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ) وَقَالَ
أَنَّهُ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ قُلْتُ وَلَهُ شَاهِدَانِ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ
وَ مِنْ حَدِيثِ أُمِّ أَيْمَنَ ثُمَّ أَبِي الشَّيْخِ فِي كِتَابِ
الْعَقِيقَةِ وَآخَرَ عَنِ الضَّحَاكِ بْنِ قَيْسٍ عِنْدَ الْبَيْهَقِيِّ
قَالَ النَّوَوِيُّ وَيُسَمَّى خِتَانُ الرَّجُلِ إِعْذَارًا بِذَالٍ
مُعْجَمَةٍ وَخِتَانُ الْمَرْأَةِ خَفْضًا بِخَاءٍ وَضَادٍ مُعْجَمَتَيْنِ
وَقَالَ أَبُو شَامَةَ كَلَامُ أَهْلِ اللُّغَةِ يَقْتَضِي تَسْمِيَّةَ
الْكُلَّ إِعْذَارًا وَالْخَفْضُ يَخْتَصُّ بِالْأُنْثَى قَالَ أَبُو
عُبَيْدَةَ عَذَرَتِ الْجَارِيَةُ وَالْغُلَامُ وَأَعْذَرْتُهُمَا
خَتَنْتُهُمَا وَأَخْتَنْتُهُمَا وَزْنًا وَمَعْنًى قَالَ الْجَوْهَرِيُّ
وَالْأَكْثَرُ خَفَضَتِ الْجَارِيَةُ قَالَ وَتَزْعُمُ الْعَرَبُ أَنَّ
الْغُلَامَ إِذَا وُلِدَ فِي الْقَمَرِ فَسَخَتْ قُلْفَتُهُ أَيِ
اتَّسَعَتْ فَصَارَ كَالْمَخْتُونِ وَقَدِ اسْتَحَبَّ الْعُلَمَاءُ مِنَ
الشَّافِعِيَّةِ فِيمَنْ وُلِدَ مَخْتُونًا أَنْ يَمُرَّ بِالْمُوسَى عَلَى
مَوْضِعِ الْخِتَانِ مِنْ غَيْرِ قَطْعٍ قَالَ أَبُو شَامَةَ وَغَالِبُ
مَنْ يُولَدُ كَذلِكَ لَا يَكُونُ خِتَانُهُ تَامًّا بَلْ يَظْهَرُ طَرَفُ
الْحَشَفَةِ فَإِنْ كَانَ كَذلِكَ وَجَبَ تَكْمِيلُهُ وَأَفَادَ الشَّيْخُ
أَبُو عَبْدِ اللهِ بْنُ الْحَاجِّ فِي الْمَدْخَلِ أَنَّهُ اخْتُلِفَ فِي
النِّسَاءِ هَلْ يُخْفَضْنَ عُمُومًا أَوْ يُفْرَقُ بَيْنَ نِسَاءِ
الْمَشْرِقِ فَيُخْفَضْنَ وَنِسَاءُ الْمَغْرِبِ فَلَا يُخْفَضْنَ لِعَدَمِ
الْفَضْلَةِ الْمَشْرُوعِ قَطْعُهَا مِنْهُنَّ بِخِلَافِ نِسَاءِ
الْمَشْرِقِ قَالَ فَمَنْ قَالَ أَنَّ مَنْ وُلِدَ مَخْتُونًا اسْتُحِبَّ
إِمْرَارَ الْمُوسَى عَلَى الْمَوْضِعِ امْتِثَالًا لِلْأَمْرِ قَالَ فِي
حَقِّ الْمَرْأَةِ كَذلِكَ وَمَنْ لَا فَلَا وَقَدْ ذَهَبَ إِلَى وُجُوبِ
الْخِتَانِ دُونَ بَاقِي الْخِصَالِ الْخَمْسِ الْمَذْكُورَةِ فِي الْبَابِ
الشَّافِعِيُّ وَجُمْهُورِ أَصْحَابِهِ وَقَالَ بِهِ مِنَ الْقُدَمَاءِ
عَطَاءُ حَتَّى قَالَ لَوْ أَسْلَمَ الْكَبِيرُ لَمْ يَتِمَّ إِسْلَامُهُ
حَتَّى يَخْتِنَ وَعَنْ أَحْمَدَ وَبَعْضِ الْمَالِكِيَّةِ يَجِبُ وَعَنْ
أَبِي حَنِيفَةَ وَاجِبٌ وَلَيْسَ بِفَرْضٍ وَعَنْهُ سُنَّةٌ يَأْثَمُ
بِتَرْكِهِ وَفِي وَجْهٍ لِلشَّافِعِيَّةِ لَا يَجِبُ فِي حَقِّ النِّسَاءِ
وَهُوَ الَّذِي أَوْرَدَهُ صَاحِبُ الْمُغْنِي
“Fithrah itu ada lima, atau lima macam yang termasuk fitrah, yaitu
khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar kemaluan, mencabut bulu
ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.” (HR. Bukhari, dari Abu
Hurairah)
Al-Mawardi berkata: “Mengkhitan perempuan yaitu memotong kulit yang
ada di bagian atas vagina, yaitu tempat masuknya alat kelamin pria yang
berbentuk seperti biji atau seperti jengger ayam jantan. Bagian yang
wajib dipotong adalah kulit yang timbul ke atas, bukan memotongnya
habis. Abu Dawud telah meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyah: “Sungguh
seorang perempuan akan berkhitan di Madinah, lalu Nabi Saw. bersabda
padanya: “Jangan engkau potong habis, sebab hal itu lebih baik bagi
seorang perempuan.” Lalu Abu Dawud berkata: “Hadits itu bukan hadits
kuat.” Saya (Ibn Hajar al-‘Asqalani) berpendapat, hadits itu punya dua
syahid (penguat) dari hadits Anas dan hadits Ummu Aiman. Lalu dari
hadits Abu al-Syaikh dalam Kitab al-‘Aqiqah, hadits lain dari al-Dhahak
bin Qais dalam riwayat al-Baihaqi. Al-Nawawi berkata: “Khitan laki-laki
disebut dengan istilah i’dzar dengan dzal yang dititik satu, sementara
khitan perempuan disebut khafzh dengan kha’ dan zha’ yang dititik satu.
Sedangkan Abu Syamah menyatakan bahwa pendapat ahli bahasa memutuskan
keduanya disebut i’dzar, dan khafzh dikhususkan bagi perempuan. Abu
‘Ubaidah berkata: “Perempuan dan laki-laki beri’dzar (berkhitan). Saya
mengi’dzar mereka berdua, maksudnya khatantuhuma (saya mengkhitan
keduanya) dan akhtantuhuma (saya mengkhitan keduanya), dalam wazan dan
maknanya. Al-Jauhari berkata: “Mayoritas diucapkan khafzhat al-jariyah
(seorang perempuan berkhitan.)” Ia berkata: “Orang Arab menyangka bahwa
seorang anak laki-laki ketika lahir pada saat muncul bintang qamar,
qulfah (kulit ujung penis)nya melebar, sehingga seperti sudah dikhitan.”
Ulama Syafi’iyah menghukumi orang yang lahir dalam keadaan sudah
terkhitan sunnah menjalankan pisau di bagian khitan tanpa memotongnya.
Abu Syamah berkata: “Mayoritas anak yang lahir dalam keadaan begitu,
khitannya tidak sempurna, hanya ujung penis yang terlihat. Bila begitu,
maka ia wajib menyempurnakan khitannya. Dalam kitab al-Madkhal Syaikh
Abu Abdillah bin al-Hajj menyampaikan, hukum khitan perempuan masih
diperselisihkan. Apakah mereka semua dikhitan atau dibedakan antara
perempuan timur dikhitan dan perempuan barat tidak, sebab tidak adanya
sisa bagian yang disyariatkan dipotong di vagina mereka, berbeda dengan
wanita timur. Ia berkata: “Ulama yang punya pendapat seorang anak
laki-laki yang lahir dalam keadaan terkhitan sunnah menjalankan pisau di
tempat khitannya karena mematuhi perintah syari’ah, berpendapat begitu
pula bagi seorang anak perempuan. Dan ulama yang tidak berpendapat
begitu, maka tidak menghukumi sunnah menjalankan pisau di tempat khitan
seorang perempuan.” Al-Syafi’i dan mayoritas Ashhabnya berpendapat atas
kewajiban khitan, bukan keempat fithrah lainnya yang disebutkan dalam
hadits bab ini. Dari Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah diriwayatkan
menghukumi wajib. Dari Abu Hanifah menghukumi wajib namun bukan fardhu.
Diriwayatkan pula darinya, hukum khitan itu sunnah yang berdosa bila
ditinggalkan. Pada satu pendapat ashhab Syafi’iyah dinyatakan bahwa
khitan tidak wajib bagi perempuan. Pendapat ini disampaikan -pula- oleh
penulis kitab al-Mughni.
Begtiu pula keterangan dalam Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi
الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ
وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلإِبِطِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ)
قَوْلُهُ (الْفِطْرَةُ خَمْسٌ) ثُمَّ فَسَّرَ r الْخَمْسَ فَقَالَ
الخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلإِبِطِ
وَقَصُّ الشَّارِبِ وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ (عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ
قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكِ وَاسْتِنْشَاقِ
الْمَاءِ وَقَصِّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلِ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفِ الْإِبْطِ
وَحَلْقِ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصِ الْمَاءِ قَالَ مَصْعَبٌ وَنُسِيَتِ
الْعَاشِرَةُ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةُ) أَمَّا قَوْلُهُ r
(الْفِطْرَةُ خَمْسٌ) فَمَعْنَاهُ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ كَمَا فِي
الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى (عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ) وَلَيْسَتْ
مُنْحَصِرَةً فِي الْعَشْرِ وَقَدْ أَشَارَ r إِلَى عَدَمِ انْحِصَارِهَا
فِيهَا بِقَوْلِهِ مِنَ الْفِطْرَةِ وَاللهُ أَعْلَمُ وَأَمَّا الْفِطْرَةُ
فَقَدِ اخْتَلَفَ فِي الْمُرَادِ بِهَا هُنَا فَقَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ
الْخَطَّابِيُّ ذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهَا السُّنَّةُ
وَكَذَا ذَكَرَهُ جَمَاعَةٌ غَيْرُ الْخَطَّابِيِّ قَالُوا وَمَعْنَاهُ
أَنَّهَا مِنْ سُنَنِ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ
عَلَيْهِمْ وَقِيْلَ هِيَ الدِّينُ ثُمَّ إِنَّ مُعْظَمَ هذِهِ الْخِصَالِ
لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ وَفِي بَعْضِهَا خِلَافٌ فِي
وُجُوبِهِ كَالْخِتَانِ وَالْمَضْمَضَةِ وَالاسْتِنْشَاقِ وَلَا يَمْتَنِعُ
قَرْنُ الْوَاجِبِ بِغَيْرِهِ كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى كُلُوا مِنْ
ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَالْإِيتَاءُ
وَاجِبٌ وَالْأَكْلُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَاللهُ أَعْلَمُ أَمَّا
تَفْصِيلُهَا (فَالْخِتَانُ) وَاجِبٌ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَكَثِيرٌ مِنَ
الْعُلَمَاءِ وَسُنَّةٌ عِنْدَ مَالِكٍ وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ
عِنْدَ الشَّافِعِيِّ وَاجِبٌ عَلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ جَمِيعًا
ثُمَّ إِنَّ الْوَاجِبَ فِي الرَّجُلِ أَنْ يَقْطَعَ جَمِيعَ الْجِلْدَةِ
الَّتِي تُغْطِي الْحَشَفَةَ حَتَّى يَنْكَشِفَ جَمِيعَ الْحَشَفَةِ وَفِي
الْمَرْأَةِ يَجِبُ قَطْعُ أَدْنَى جُزْءٍ مِنَ الْجِلْدَةِ الَّتِي فِي
أَعْلَى الْفَرْجِ وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِنَا الَّذِي عَلَيْهِ
جُمْهُورُ أَصْحَابِنَا أَنَّ الْخِتَانَ جَائِزٌ فِي حَالِ الصِّغَرِ
لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَلَنَا وَجْهٌ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْوَلِيِّ أَنْ
يَخْتِنَ الصَّغِيرَ قَبْلَ بُلُوغِهِ وَوَجْهٌ أَنَّهُ يَحْرُمُ خِتَانُهُ
قَبْلَ عَشْرِ سِنِينَ وَإِذَا قُلْنَا بِالصَّحِيحِ اسْتُحِبَّ أَنْ
يُخْتَنَ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ مِنْ وِلَادَتِهِ وَهَلْ يُحْسَبُ
يَوْمَ الْوِلَادَةِ مِنَ السَّبْعِ أَمْ تَكُونُ سَبْعْةٌ سِوَاهُ فِيهِ
وَجْهَانِ أَظْهَرُهُمُا يُحْسَبُ
“Fitrah itu ada lima macam, yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh
di sekitar kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu
ketiak.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra.)
Sabda Nabi Saw.: “Fitrah itu ada lima macam.” kemudian beliau
menjelaskannya, beliau berkata: “Yaitu khitan, mencukur rambut yang
tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu
ketiak, dan mencukur kumis.” Dan dalam hadits lain: “Sepuluh perkara
termasuk fithrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak,
menghirup air ke hidung, memotong kuku, membasuh sendi-sendi, mencabut
rambut ketiak, mencukut rambut sekitar kemaluan, dan memercikkan air
pada kemaluan untuk menghilangkan was-was.” Mash’ab berkata: “Yang
kesepuluh telah terlupakan kecuali bila maksudnya adalah berkumur.”
Sedangkan sabda Nabi Saw.: “Fitrah itu ada lima macam.” maknanya adalah
lima perkara yang termasuk fitrah, seperti dalam riwayat lain, yaitu:
“Sepuluh perkara yang termasuk fitrah.” Sebenarnya macam fitrah itu
tidak hanya sepuluh, dan Nabi Saw. telah menyinggungnya dengan sabda
beliau: “Sepeluh perkara yang termasuk fithrah.” Wallahu a’lam.
Sementara makna fitrah sendiri diperselisihkan. Abu Sulaiman
al-Khaththabi berkata: “Mayoritas ulama berpendapat, makna fitrah adalah
sunnah. Demikian disampaikan oleh sekelompok ulama selain
al-Khaththabi. Mereka berkata: “Maksudnya, fitrah itu termasuk sunnah
para nabi -shalawatullah ‘alaihim wa al-salam-. Menurut satu pendapat
fitrah diartikan sebagai ajaran agama. Lalu mayoritas fitrah di atas
menurut ulama hukumnya tidak wajib. Sebagiannya diperselisihkan hukum
wajibnya, seperti khitan, berkumur dan menghirup air ke hidung. Dan bisa
saja perkara wajib disebut bersama dengan perkara sunnah, seperti
firman Allah Swt.: “Kalian makanlah buahnya ketika berbuah, dan berikan
haknya saat hari panennya.” Memberikan hak (zakat) hukumnya wajib, dan
hukum memakannya tidak wajib. Wallahu a’lam.
Adapun perincian hukumnya, maka khitan wajib menurut Imam Syafi’i dan
ulama banyak. Sunnah menurut Malik dan mayoritas ulama. Menurut
al-Syafi’i wajib khitan itu bagi semua laki-laki dan perempuan. Kemudian
yang wajib bagi laki-laki adalah memotong semua kulit yang menutup
khasyafah (ujung penis) sehingga terlihat semuanya, sementara bagi
wanita adalah memotong sebagian kecil kulit yang berada di vagina bagian
atas. Pendapat al-Shahih dalam madzhab kita yang disetujui mayoritas
ulama Syafi’iyah menyatakan, khitan itu boleh dilakukan semasa kecil,
dan tidak wajib. Kita juga mempunyai satu pendapat Ashhab yang
menyatakan khitan itu wajib atas wali, yakni mengkhitan anak kecilnya
sebelum mencapai usia baligh. Terdapat pula pendapat Ashhab yang
mengharamkan khitan sebelum mencapai usia 10 tahun. Ketika kita
memutuskan dengan pendapat al-shahih, maka disunnahkan mengkhitan pada
hari ketujuh dari kelahiran. Adakah hari kelahiran dihitung menjadi
bagian dari tujuh hari itu? atau tanpa menghitung hari kelahiran? Dalam
masalah ini ada dua pendapat Ashhab. Pendapat yang kuat adalah
menghitung hari kelahiran menjadi bagian tujuh hari tersebut.
Dan begitu juga dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
أَمَّا خِتَانُ الْمَرْأَةِ فَاعْلَمْ أَنَّ مَدْخَلَ الذَّكَرِ هُوَ
مَخْرَجُ الْحَيْضِ وَالْوَلَدِ وَالْمَنِيِّ وَفَوْقَ مَدْخَلِ الذَّكَرِ
ثَقْبٌ مِثْلُ إحْلِيلِ الرَّجُلِ هُوَ مَخْرَجُ الْبَوْلِ وَبَيْنَ هَذَا
الثَّقْبِ وَمَدْخَلِ الذَّكَرِ جِلْدَةٌ رَقِيقَةٌ وَفَوْقَ مَخْرَجِ
الْبَوْلِ جِلْدَةٌ رَقِيقَةٌ مِثْلُ وَرَقَةٍ بَيْنَ الشَّفْرَيْنِ
وَالشَّفْرَانِ تُحِيطَانِ بِالْجَمِيعِ فَتِلْكَ الْجِلْدَةُ الرَّقِيقَةُ
يُقْطَعُ مِنْهَا فِي الْخِتَانِ وَهِيَ خِتَانُ الْمَرْأَة
Sedangkan khitan perempuan, maka ketahuilah, bahwa tempat masuknya
penis adalah tempat keluarnya haidh, anak dan mani. Di atas (bagian
vagina) yang menjadi tempat masuknya penis terdapat lubang seperti
lubang alat kelamin pria yang menjadi saluran kencing perempuan. Di
antara saluran kencing dan tempat masuknya penis tersebut terdapat kulit
tipis. Di atas saluran kencing perempuan itu terdapat kulit tipis
seperti daun yang terletak di antara dua bibir vagina. Dua bibir vagina
tersebut menutupi semua bagian-bagian tersebut. Kulit tipis di atas
saluran kencing itulah yang sebagiannya dipotong saat khitan. Dan itulah
khitan perempuan.
Maka khitan perempuan dilakukan dengan cara menghilangkan sebagian
kecil kulit ari yang menutupi klitoris, bukan membuangnya sama sekali.
Bahkan Rasulullah Saw. justru mengingatkan agar tidak berlebihan dalam
memotong, sebagaimana terungkap dalam hadits Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah
di atas.
Adapun waktu khitan bagi perempuan yang paling baik adalah hari
ketujuh dari kelahirannya. Ulama berbeda pendapat tentang penetapan
hitungan hari ketujuh. Ada yang berpendapat hari pertama kelahiran
dihitung satu hari, dan ini pendapat yang kuat, sementara itu, ada yang
menganggap hari pertama tidak dihitung.
Keputusan Komisi bahtsul Masail al-Diniayah al-Maudhuiyyah Muktamar NU
32 di Makassar. dalam Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam Keputusan Muktamar Munas dan Konbes NU 1926-2010 (LTN PBNU –
KHALISTA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar